Wednesday, April 3, 2019

pendidikan pada masa kuno

PENDIDIKAN PADA MASA ROMAWI DAN YUNANI KUNO

BAB I
PENDAHULUAN

A    Latar Belakang
Selama 5000 tahun sejarah yang tercatat, pendidikan di rumah, gereja, atau sekolah telah merupakan cara penting untuk menyebarkan tradisi-tradisi dan pengetahuan praktis kepada generasi-generasi yang berikutnya. Hal ini dapat dicontohkan oleh binatang yang mengajarkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan kepada anak-anak mereka melalui peniruan dan disiplin karena belajar adalah perlu bagi kelangsungan hidup dalam satu lingkungan yang bermusuhan. Akan tetapi hanya manusia yang telah menemukan berbagai sistem pendidikan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting dan mencapai tujuan pribadi maupun tujuan sosial.
Perkembangan bahasa telah memungkinkan manusia dalam masyarat yang paling primitif sekalipun untuk menambah peniruan dan disiplin dengan pelajaran-pelajaran lisan tentang keselamatan dan tugas-tugas ekonomi. Akan tetapi bagi para penguasa yang terdorong oleh ambisi politik mereka menggunakan program-program pendidikan untuk memajukan kepentingan-kepentingan kebangsaan mereka. Para pemimpin agama dan para ahli filsafat yang megabdi kepada cita-cita moral telah berusaha untuk menuntun masyarakat mereka ke arah standar-standar hidup dan kebudayaan yang tinggi melalui pendidikan.

   B.  Rumusan Masalah
Setelah adanya pemaparan mengenai latar bekalang masalah diatas maka dalam makalah  ini, pemakalah mengajukan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah.
   1.    Bagaimana Dengan Konsep Dasar Pendidikan
   2.    Bagaimana Perkembangan pendidikan yunani dan romawi
   3.  Siapa Saja Filsuf - Filsuf Pendidik Yunani Dan Romawi

  C.  Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan uraian makalah diatas.Maka tujuan dari penulisan makalah iniadalah sebagai berikut:
   1.  Memperoleh informasi mengenai konsep dasar pendidikan
   2..    Memperoleh informasi mengenai Perkembangan pendidikan Yunani Dan Romawi
   3..    Memperoleh informasi mengenai filsuf – filsuf pendidikan Yunani dan Romawi
   4..    Syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah pendidikan

   D.  Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, dan sistematika penulisan makalah.
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini  mengenai uraian isi makalah.
BAB III PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan.




BAB II
PEMBAHASAN

   A.  KONSEP DASAR PENDIDIKAN
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto, 2002:11). Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam T. Sulistyono, 2003).
Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya.


         Aliran-Aliran Dalam Pendidikan
Makna pendidikan sangat luas, dan setiap orang dengan pandangan tertentu merumuskan arti pendidikan berbeda dari rumusan pendidikan yang dirumuskan seseorang ahli dengan pandangan yang lain. Begitu pun kalau secara khusus kita kuatkan dengan proses pendidikan sebagai proses pembinaan peserta didik sebagai subjek didik. Dalam hal ini memang ada beberapa aliran dalam pendidikan:
a      Aliran Nativisme
Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer (Jerman: 1788-1860). Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Potensi yang dibawa sejak lahir atau pembawaan inilah yang sepenuhnya mempengaruhi perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik, dan yang jelek akan menjadi jelek. Menurut kaum nativisme tersebut, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan, sehingga percuma saja kita mendidik, atau dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut pesimisme pedagogis.
b     Aliran Empirisme
Tokoh dari aliran ini adalah John Locke (Inggris: 1932-1704). Pandangan aliran ini berlawanan dengan kaum nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungannya, atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan putih bersih seperti kertas putih, tidak membawa potensi apa-apa. Perkembangan selanjutnya tergantung dari pendidikan dan atau lingkungannya. Dalam artian, bahwa manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun sebaliknya), menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis. Dalam hal ini pendidik memegang peranan yang sangat penting dengan menyediakan lingkungan pendidikan dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman (empiri: pengalaman).
c    Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah JJ. Rousseau (Prancis: 1712-1778). Nature artinya adalah alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan aliran nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh/pendidikan itu baik, akan menjadi baik, tapi jika pengaruh itu jelek, akan jelek pula hasilnya. Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini JJ. Rousseau: “…semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pendipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. Artinya, anak hendaknya dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau masyarakat jangan banyak mencampurinya.
d     Aliran Konvergensi
Tokoh dari aliran ini adalah William Stern (Jerman: 1871-1939), yang berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa pembawaan atau potensi- potensi, namun dalam perkembangan selanjutnya ditentukan bersama baik oleh pembawaan maupun lingkungan atau pendidikan. Pembawaan tidak akan berkembang dengan baik jika tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berhasil baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya. Menurut Stern, pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus yang menuju ke suatu titik temu (convergen : menuju ke suatu titik). Aliran konvergensi pada umumnya dapat diterima secara luas, walaupun masih ada juga beberapa kritik terhadapnya.
Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia hal itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.



   B.  PERKEMBANGAN PENDIDIKAN YUNANI DAN ROMAWI
   1    Perkembangan Pendidikan Yunani
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
a.       Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
b.      Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar universal.
c.       Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976:24).
1      Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang Lycurgus (± 900 SM). Ciri pendidikan: pendidikan diselenggarakan oleh negara dan hanya untuk warga negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas:
a.       Anak adalah milik negara;
b.      Tujuan pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a.       Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
b.      Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
c.       Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikan : anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas ketentaraan (A. Ahmadi, 1987:162).
2      Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon (± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah: membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciri-ciri pendidikan di Athena adalah:
a.    Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b.    Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis. Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani. Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat, lempar lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzismeliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan muzisakan dipelajari artes liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
  A.    trivium (tiga ajaran), yaitu: grammaticarhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;
 B.   quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu bintang); geometria(ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976).
Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta. Segala kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (anthroposentrisanthropos: manusia;sentris: pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan, merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada pendidikan agama dan kesusilaan.

  2.   Perkembangan Pendidikan Romawi
Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan kebutuhan negara jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada awalnya adalah negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda baik tujuan maupun alat-alat pendidikannya, yaitu jaman Romawi lama dan jaman Romawi baru (Hellenisme).
1     Jaman Romawi Lama
Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warganegara yang setia dan berani, siap berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan pembentukan warganegara yang cakap sebagai tentara. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga, dan merupakan pendidikan bangsawan bukan pendidikan rakyat. Materi pelajarannya meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan jasmani dan kesusilaan menjadi prioritas. Hasil pendidikan dinilai baik, karena:
  A.   Kebiasaan aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai kekuasaan mutlak dan anak-anak patuh pada perintahnya;
   B.   Kedudukan ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi pemelihara rumah tangga;
   C.   Agama mempunyai pengaruh besar, orang romawi percaya dikelilingi oleh dewa-dewanya;
   D.   Anak-anak mempelajari undang-undang negaranya, menganggapnya sakti dan tidak melanggar.
2)      Jaman Romawi Baru (Helenisme)
Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani (Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan rasio dan kemanusiaan (humanitas) menjadi prioritas. Organisasi sekolah yang dibentuk meliputi:
a)    Sekolah rendah : pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik dan menyanyi tidak mendapat perhatian;
b)   Sekolah menengah : pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan kesusasteraan klasik;
c)    Sekolah tinggi : diberikan keahlian pidato, hukum, dan undang-undang.
Pendidikan menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai berpedoman kepada filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu Epicurisme (dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno 336-264 SM). Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuaikan diri dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu sendiri dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam, maka di dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada perbedaan antara alam dengan Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, yang disebut juga panteisme (pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga hidup sesuai dengan alam berarti hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.
Dengan munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah dari rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan) menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan kemanusian/humanitas).

  C.  FILSUF - FILSUF PENDIDIK YUNANI DAN ROMAWI
  A .   Filsuf Yunani
  1.    Pythagoras (580-500 SM) 
Tujuan pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang menjadi dasar pendidikannya:
a)    hanya jiwa yang berharga, bukan badan;
b)   jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
c)    sejak kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus membawa manusia ke arah kesempurnaan;
d)   kesempurnaan adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni dalam hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama “Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada aturan-aturan tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari 3 bagian:
·      bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam masa percobaan 3 tahun. Selama itu ia harus dapat mengatasi penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan kesanggupan dalam menempuh jalan hidup yang saleh;
·      bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan dari anggota-anggota penuh, dan mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri;
·      bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang dianggap sudah cukup memenuhi syarat, mendapat hak dan kepercayaan yang penuh, mereka mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri.
 2.    Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo: Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber dari kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta pada sesama manusia.
Dalam pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu mengajarkan bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja, padahal yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan untuk mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada ilmu yang sebenarnya (menarik kesimpulan sendiri). Beberapa jasa Socrates:
a)    pelopor dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk mencapai kebajikan;
b)   pelopor dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari hakikat dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
c)    Pythagoras dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak akhlak pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru dan membelakangi dewa-dewa resmi.

 3.    Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari keluarganya.
Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis. Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk negara. Dengan prinsip tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan. Keadilan akan terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan demikian tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya. Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian pengajarannya.
Pengaruh plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja abad pertengahan. Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja sangat platonis.

 4.    Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti halnya dengan Plato, maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke, bahwa jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa).
Pendidikan formal menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi 4 bagian:
   A)  pendidikan sampai dengan usia 5 tahun;
   B)    pendidikan sampai dengan usia 7 tahun;
  C)   pendidikan sampai dengan usia pubertas;
  D)   pendidikan sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya, disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan musik adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal, maka pendidikan dilakukan oleh negara.





No comments:

Post a Comment